Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sekaligus anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Agita Nurfianti, S.Psi., melaksanakan kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di SMAN 23 Bandung pukul 07:30 WIB. Kegiatan ini diikuti oleh siswa kelas X, XI, dan XII, serta dihadiri jajaran pimpinan sekolah dan tamu undangan.
Kegiatan sosialisasi dikemas dalam bentuk seminar interaktif yang memadukan pemaparan materi, diskusi, serta tanya jawab. Tujuannya adalah memperkuat pemahaman generasi muda terhadap nilai-nilai kebangsaan sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Acara diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilanjutkan sambutan Kepala Sekolah, Rosi Rahayu, S.Pd., M.M. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi atas kehadiran Agita Nurfianti beserta tim DPD RI Jawa Barat. Ia menegaskan pentingnya pemahaman Empat Pilar Kebangsaan—Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika—sebagai nilai dasar yang harus ditanamkan sejak dini, khususnya kepada pelajar sebagai generasi penerus bangsa.
“Empat Pilar ini bukan hanya hafalan, tetapi nilai yang harus hidup dalam keseharian siswa agar tumbuh rasa cinta tanah air dan tanggung jawab sebagai warga negara,” ujarnya.
Pancasila hingga Bhinneka Tunggal Ika sebagai Fondasi Negara
Dalam sesi utama, Agita Nurfianti menjelaskan kedudukannya sebagai anggota DPD RI yang secara otomatis juga merupakan anggota MPR RI. Ia menegaskan bahwa MPR terdiri dari seluruh anggota DPR RI dan DPD RI, sehingga salah satu tugas pentingnya adalah menyosialisasikan ketetapan MPR, termasuk Empat Pilar Kebangsaan.
Agita menguraikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus sumber dari segala sumber hukum, yang tidak boleh dilanggar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. UUD 1945 dijelaskan sebagai konstitusi dan hukum tertinggi negara yang menjamin hak serta kewajiban warga negara, termasuk hak memperoleh pendidikan.
Sementara itu, NKRI ditegaskan sebagai bentuk final negara yang wajib dijaga keutuhannya oleh seluruh elemen bangsa. Adapun Bhinneka Tunggal Ika dipahami sebagai prinsip persatuan dalam keberagaman, yang relevan untuk mencegah konflik sosial, termasuk perundungan di lingkungan sekolah, dengan menumbuhkan sikap saling menghormati perbedaan.
Suasana kegiatan semakin interaktif ketika Agita mengajak siswa berdialog. Sejumlah siswa mampu menjawab pertanyaan seputar simbol sila-sila Pancasila serta contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti praktik ibadah sebagai perwujudan sila pertama.
Peran Strategis DPD dalam Sistem Ketatanegaraan
Dalam sesi tanya jawab, Agita juga menjelaskan secara mendalam peran dan fungsi DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menegaskan bahwa DPD merupakan lembaga perwakilan daerah di tingkat nasional yang bersifat independen dan tidak berafiliasi dengan partai politik. Setiap provinsi diwakili oleh empat anggota DPD.
Sesuai Pasal 22D UUD 1945, DPD memiliki kewenangan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pemekaran wilayah, pengelolaan sumber daya alam, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Namun, kewenangan pengesahan undang-undang tetap berada di tangan DPR.
Agita menjelaskan bahwa proses penyerapan aspirasi daerah dilakukan secara bertahap, mulai dari evaluasi peraturan, pengumpulan data dan masukan di daerah, hingga pembahasan bersama pakar dan kementerian terkait sebelum diusulkan ke DPR.
“DPD berperan sebagai jembatan aspirasi daerah agar kebijakan nasional tetap berpijak pada kebutuhan nyata di lapangan,” jelasnya.
Kolaborasi DPR–DPD dan Aspirasi Pendidikan
Menanggapi pertanyaan siswa terkait potensi perbedaan pandangan politik dan konflik kepentingan antardaerah, Agita menekankan pentingnya kolaborasi antar lembaga. Menurutnya, perbedaan disikapi dengan menjalankan fungsi masing-masing secara profesional dan membangun kerja sama yang konstruktif antara DPD dan DPR.
Kolaborasi tersebut, lanjutnya, menjadi sangat penting ketika membahas RUU yang bersifat mendesak atau berasal dari inisiatif DPD. Anggota DPD perlu aktif melakukan dialog politik dan lobi agar usulan daerah dapat masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Dalam kesempatan tersebut, Agita juga menanggapi masukan dari tenaga pendidik terkait kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang dinilai masih terlalu teoritis. Ia menegaskan bahwa masukan tersebut merupakan bentuk aspirasi konkret yang akan ditampung dan diperjuangkan melalui jalur DPD.
Menutup kegiatan, Agita menyampaikan bahwa anggota DPD harus melalui proses seleksi ketat dan dituntut untuk menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam menjalankan amanah jabatan. Dengan latar belakang pendidikan psikologi, ia menegaskan bahwa keberagaman keahlian justru memperkaya kontribusi anggota DPD, khususnya dalam komite-komite yang membidangi pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI ini diharapkan dapat memperkuat wawasan kebangsaan pelajar serta menumbuhkan kesadaran kritis generasi muda dalam menjaga persatuan, demokrasi, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

















